Mahasiswa Sejarah STKIP Setia Budhi Rangkasbitung saat mengunjungi rumah bekas Asisten Residen Belanda Eduard Douwes Dekker atau Multatuli

Dimana Rumah Multatuli? Jika kamu pernah masuk ke RSUD Adjidarmo Rangkasbitung, pasti kamu pernah melihat bangunan tua yang berada di tempat parkir belakang rumah sakit. Nah, itu bekas rumah Multatuli.

Dalam foto diatas memperlihatkan tiga orang mahasiswa STKIP Setia Budhi Rangkasbitung sedang melakukan Indies atau mengunjungi bekas peninggalan kolonial yakni rumah Eduard Douwes Dekker. 

Rumah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli berada di belakang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Adjidarmo, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. 

Multatuli merupakan seorang Asisten Residen  yang bertugas untuk mengawasi kinerja Bupati pada masa kolonial Belanda di Kabupaten Lebak. 

Multatuli dikenal dengan Novelnya yang berjudul "Max Havelar" yang menceritakan tentang penderitaan kaum bumi putera di daerah Lebak akibat sistem tanam paksa yang menindas. 

Buku "Max Havelar" adalah karya sastra yang berpengaruh terhadap kebangkitan nasionalisme Indonesia, dan bahkan karyanya sudah tersebar ke seluruh dunia.

Badrudin salah satu mahasiswa jurusan Pendidikan Sejarah STKIP Setia Budhi mengatakan, bahwa rumah tokoh Multatuli itu ditempati sekitar tahun 1856 dan sempat menjadi markas tentara pada tahun 1850. 

Bahkan, bangunan itu beberapa kali mengalami alih fungsi menjadi rumah sakit pada tahun 1987 dan menjadi apotek tahun 2000. Dan saat ini rumah tersebut telah ditetapkan menjadi cagar budaya. Katanya.

Multatuli menjadi salah satu pengetahuan sejarah yang menarik. Banyak wisatawan yang berkunjung ke Lebak salah satunya ingin mengetahui tentsng sejarah Multatuli. Maka dari itu pemerintah Kabupaten Lebak mendirikanlah Museum Multatuli pada 18 Februari 2018.

Patung Eduard Douwes Dekker/Multatuli di halaman Museum Multatuli


Siapa Multatuli? Mengutip buku Buku Museum Multatuli, 2021, Multatuli merupakan nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Multatuli diambil dari bahasa Latin yang artinya "Aku Telah Banyak Menderita". 

Kisah Multatuli diawali dengan kedatanganya ke Lebak sebagai Asisten Residen, yang pada waktu itu Bupati Lebak bernama RTA Karta Natanegara, namun bertindak sewenang-senang kepada penduduk. 

Melihat tindakan Karta Natanegara yang semena-mena tersebut, Multatuli kecewa, sehingga ia melaporkannya kepada GP. Brest van Kempen selaku Residen Banten. Namun, bukannya ditanggapi dengan baik, laporan tersebut malah dianggap sebuah kewajaran.  

Selanjutnya, pada 4 Maret 1856, Multatuli resmi berhenti dan pulang ke Belanda. Namun, sesampainya di Belanda, ia tidak diterima karena dianggap sebagai pengkhianat. 

Ia pun pergi ke Belgia. Di sebuah losmen kecil, Kota Brussel  ia kemudian menulis roman berjudul "Max Havelar, of de koffi-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij, yang artinya maskapai dagang kopi Hindia Belanda. 

Roman Max Havelar terbit pada 1860 dan ditulis sesuai dengan salinan surat-surat dan dokumen-dokumen selama ia menjabat sebagai pegawai pemerintahan di Hindia Belanda. 

Sebelum terbit, ia mengirim surat kepada raja William III tentang naskah Max Havelar pada 18 Februari 1860. Di akhir suratnya, ia berkata:

"Apakah yang mulia tahu, 30 juta penduduk Hindia Timur, disiksa dan ditindas atas nama yang mulia," kata Deowis Dekker. Dari roman itulah akhirnya dunia tahu mengenai kebobrokan Belanda di tanah jajahannya. 

Roman Max Havelar karya Multatuli ini dikenal luas oleh dunia dan menjadi inspirasi pejuang kemerdekaan, mulai dari Soekarno hingga Josep Rizal di Filipina. 

Tak hanya itu, pengaruh dari karyanya juga turut mendorong munculnya gerakan aktivisme di Belanda yang mengkritik kolonialisme. 

Selain bercorak satir politik, Max Havelar juga telah menghadirkan realitas kehidupan masyarakat Lebak nan miskin di tengah hiruk-pikuk kolonialisme yang mengeruk keuntungan dari negeri jajahan. 

Seorang sastrawan Indonesia ternama, Prammoedya Ananta Toer pernah memuji bahwa roman Max Havelar adalah sebuah upaya untuk membunuh kolonialisme. 

Karya Multatuli telah  berdampak besar, dan menjadi gerakan untuk mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap Hindia Belanda. 

Seorang aktivis bernama Robert Fruin menulis setelah membaca buku Max Havelar, tentang kewajiban pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup kaum pribumi.

Dalam artikel itulah untuk pertama kalinya dikenal istilah balting slot atau keuntungan dari program Cultur Stelsel (tanam paksa) yang dinyatakannya sebagai satu sistem yang bertentangan dengan hukum Belanda. 

Tulisan Fruin kemudian mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda, sehingga melahirkan gagasan politik etis oleh Van Deventer dan Pieter Brooshooft. 

Van Deventer menulis di majalah De Gids pada 1899, dengan judul Een Eerschuld (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. ***